Friday, January 1, 2010

it was the most bitter yet touchy` dream I had on the 1st day of a year...

It was one weird dream for me. I can say it was close enough, so close til' I can feel the bitterness, the misery.., the deep sadness but the most of all...the glory of love.
So touchy I could tasted it, I was there..I know..
Once I kinda played the role..some of the parts...yet in the end it's like I'm inside the whole story. somehow the main role was me, myself.
somehow I was everyone around..the only thing I know is, I feel it. I feel them all. I feel the feeling..

There was the dream, and it went on and on til' the last
everytime I opened my eyes and went back to sleep, it started again through pages..


a woman of all feelings'
she had her family...she had her sense of ability
one night with her innocence, she'd almost could see things" throughout its real world..
she knew it, she senses it sometimes, then once she saw it
there the other families.. gathering around... tried to protect her
after all it was her choice to be seen..

her love for the one she longed for
with all those complicated things around them,
she waits.
she always waits for him only'

**the dream carried on.. led me to the next page..

all the beautiful moments they've had
all joy, tears and laughter.. happiness around the two
for some reason it was just, gone..
yet the grieves that she had
the hope that she always wished for
the warmness she would only shares with him
and there she was all..alone.. saddened and alone

years gone through..
days have passed by. . .
and there she was, with her baby child
people she met, old friend who put her to the circumstances'..
once she felt angry, once she felt the grieves..once she felt the sorrow..
deeply hurt by her feelings

**
and there I was. again I feel the dream, and it went on the next page again.

I was standing into this room. . filled with memories, filled with pictures
and here I am. there she was.. hold with the same feeling.
the sacred-love she had always keep for her beloved-one
preparing for something
pictures. . . I see pictures.. I smell the old , weird, odd, I smell everything
thought it was a grave' of her love one,, yet it was an old..photos of his figure..

when all these stories were heading to the end, I was watching them. It was picture of the three of them.
she...the child..and a picture of the father"

This is the glory of love..
I can feel them..just like I feel it in my own story

There's nothing worth more..than the glory, the deeply, the pure feelings of Love'
-just like the woman in my dream had-

Saturday, December 26, 2009

Remember The Vintages

These Classic Vintage Ads for CHANEL
The art... The beauty... The originality...












Tuesday, December 22, 2009

The Signature Persona"



THE EARTH DRAGON

Earth Dragons make great managers because they are practical, levelheaded and demonstrate a knack for organizing. They still have the need to dictate and be admired, but they are affable, congenial and supportive. Compared to other Dragons, Earth Dragons are less likely to breathe fire at the least irritation. They will work diligently to complete their life goals. The Earth element adds a greater portion of self-control to the Dragon's personality and usually the Earth Dragon is deserving of the respect he or she desires. These Dragons take their life and romantic responsibilities quite seriously.

Saturday, December 19, 2009

Somehow it's hard to show all of our feeling, deeply inside.

the way each person changed, the way we all grew..

it's funny,.. remembering how we back then just wanted to grew up fast..

yet after reached it, all you can only think about is wondering,.. why do people have to be a grown up?

and you started to asked that again,

Friday, November 27, 2009

Membangun Dialog Antaragama

Kalimat ini ku-kutip dari sebuah rubrik harian cetak di Indonesia, Kompas.
Ibu menyuruhku membaca catatan ini pagi tadi, semula kupikir dengan pribadi ibuku yang semakin dalam mempelajari akan 'keyakinan agamanya' (di usianya yang semakin tua, adalah hal yang wajar bagiku jika para orangtua lebih banyak menghabiskan waktu mereka dalam kegiatan keagamaan masing-masing; aku percaya itu bisa membantu menenangkan hati' beliau saat merasa gundah/kuatir akan berbagai pikiran mengenai anak-anaknya dalam menghadapi dunia) pastilah catatan ini lebih bersifat subjektif pada keyakinan kami. Hm..akan kubaca nanti saja, pikirku.
Namun segera setelah aku menyelesaikan segala urusan surat-menyurat dengan email dan sebagainya; mataku terpaku pada bacaan tersebut. Dengan foto seorang Kardinal di sampingnya, apa betul artikel ini sungguh mengacu terhadap agama tertentu sedangkan penyampaiannya melalui harian cetak nasional?? ah...rasanya tidak mungkin ya.

Ini tentang bagaimana kita belajar membangun sebuah dialog antaragama tanpa memandangnya sebagai salah satu strategi untuk menarik orang lain menjadi pemeluk agama tertentu. Melandaskan 'cinta' sebagai dasarnya. Membutuhkan ketulusan, keikhlasan, serta tingkat pemikiran yang matang sebagai kerangkanya.

satu hal yang membuatku tersenyum pagi ini, catatan mengenai satu kata' yang selama ini ada di kepalaku, tetapi pikiranku tidak pernah sampai memproses akibat jangka panjangnya :)

sifat toleransi adalah merumuskan batas.
tujuannya yaitu untuk menghindari konflik.
namun, ketika batasan itu 'tersentuh
konflik mudah terjadi.
sebaliknya dengan cinta, ia tidak memiliki batasan itu. . .

***

apakah itu kita..?

Beautiful notes from my friend, her name's Windy. She wrote this and shared this to us. I think I should post it here too..in case when I am feeling down, I know that I never walk this world alone. . .

Apakah Itu Kamu

Lama pertanyaan ini mengganyut di benak. Tentang kamu. Seorang—atau sebenda—yang tak cukup kata untuk dirapal. Bahkan terkadang kupikir, bahasa apa pun tak akan mampu mendeskripsikanmu dalam tunggal.

Bagiku, kamu absolut tapi penuh relativitas.

Kamu hadir dari balik ketidaksadaran. Menyelinap sopan tanpa disadari. Tiba-tiba, di sanalah kamu berdiam. Terus menatap, tanpa bicara.

Kadang aku rikuh dengan semua kesabaranmu. Keberadaanmu yang timbul-tenggelam. Antara ada dan tiada. Namun, pada saat tak terduga, menyeruak masuk dan mengendalikan semuanya. Tanpa diundang. Sialnya, kamu tahu, memang hanya kamu yang mampu melakukannya.

Tak perlu ajakan. Karena bahasa itu tak ada dalam kamusmu. Kamu selalu diinginkan, begitulah menurutmu. Jadi, aku biarkan saja kamu di sana. Memilih tempatmu sendiri. Menjadi penonton setiaku. Bukan, pecinta setiaku. Ini kelakarku. Dan saat itu kaubilang tak apa. Tak ada bedanya. Cinta itu tetap ada di situ. Tak perlu dicari, siapa mencintai siapa, siapa dicintai siapa.

Katamu, kamu selalu cinta aku. Banyak hal yang bisa berubah di dunia ini, tetapi ada satu yang selalu sama. Dari dulu sampai sekarang. Kamu selalu mencintaiku. ‘Aku ini cinta matimu,’ bisikmu malam itu lewat angin. ‘Bagaimana kalau aku yang cinta matimu?’ tanyaku, tak mau kalah. Kamu tersenyum simpul. Senyum yang dikulum itu selalu aku suka. ‘Tak ada bedanya, bagiku,’ jawabmu tenang, membuat ego kemanusiaan menguap entah ke mana.

Jadi, sampai aku mati, bahkan di sebuah kehidupan yang abadi kelak, kau jaminkan cintamu itu tak akan berubah. ‘Hanya kepadaku, kamu selalu pulang,’ ujarmu yakin.
Entah kenapa, alpa begitu lekat pada diri manusia. Aku alpa akan kamu. Kadang, memang ada rindu, namun gampang pula aku tak hirau. Nanti saja. Toh kamu selalu ada di sana.

Ya, kau selalu ada di sana, bukan?

***

‘Kapan kau akan meninggalkanku?’ tanyaku setelah sekian lama aku tak menemuimu.
‘Apa itu kapan?’
‘Kau tak muak dengan semua sifatku? Aku pelupa, aku sombong, bahkan mungkin, aku tak cinta kepadamu,’ kataku di suatu malam. Kita berdua duduk dalam gelap. Kau mendekapku. Semesta terasa kecil. Aku seperti satu di antara ribuan bintang yang melihat bumi dari sebuah sudut di jagat raya.
‘Sudah kubilang, aku ini cinta matimu. Aku ini tempat kau selalu pulang. Aku ini kekasih abadimu.’

Aku seperti melangkah di udara. Melayang. Melambung. Terbang ke galaksi. Semesta seperti bernyanyi. Itu kidung cinta yang indah. Kaubilang, bintang di sebelah kejora tersipu mendengarnya. ‘Lihat, pipinya memerah.’
Aku tertawa. ‘Itu Mars,’ kataku.

‘Kamulah Mars itu,’ jawabmu. ‘Kau tak perlu menjadi kejora untuk tampak cemerlang. Seperti Mars, kamu memang sudah berbeda dari sananya. Siapa pun menyadari keberadaanmu. Tak perlu menunggu langit cerah.
Kau berteman dengan malam. Kau bersahabat dengan gelap. Keduanya tak akan melenyapkanmu. Keduanya memantapkanmu.’

‘Dan seperti itulah aku bagimu,’ bisikmu. ‘Menguatkanmu, sekaligus melemahkanmu.’

Aku berusaha mencari matamu. Tapi yang kutemukan hanya dalam. Dalam yang tak berdasar.

‘Bagaimana aku bisa tahu itu kamu?’ tanyaku.
‘Apakah kau bisa mendengar suara angin?’
‘Apakah itu kamu?’
‘Bukan. Tapi, kalau kau mendengar angin serupa bunyi seruling, dan kau bisa melihatnya, saat itu kau tahu, aku sesuatu yang paling abadi untukmu.’

Melihat angin? You must be kidding me!

‘Apakah itu mungkin?’

‘Bukan mungkin, melainkan bisa.’ Katamu, kadang aku hanya ingin melihat sesuatu yang berwujud fisik saja. Padahal, keberadaan sesuatu bisa saja tidak kasat mata. Seperti cinta. kau tak tahu seperti apa rupa cinta. tapi cinta yang terbesar, bisa kau lihat dalam diriku, yang menjelma dalam dirimu.

‘Kamu memang pujangga ulung.’ Aku melengos.
‘Bahasa memang tercipta untuk memuja keindahanku.’ Lagi, kamu tersenyum. ‘Tapi kau tahu, tak ada bahasa yang benar-benar mampu menerjemahkan keberadaanku. Kamu sungguh tahu itu.’

‘Jadi, bagaimana aku bisa melihat angin?’ Aku coba mengalihkan pembicaraan. Aku tahu kamu selalu benar. Dan aku tak ingin membenarkan omonganmu di hadapanmu.

Kau hanya menunjuk ilalang di padang rumput yang bergerak-gerak. Kau mengajakku ke dahan pohon, dan menyaksikan pucuk-pucuk daun yang bergoyang. Lalu, tanganmu terulur menyentuh rambutku.
Aku tersentak. Ini pertama kali tanganmu menyentuh rambutku. Ujung rambutku terlepas dari tanganmu, tersapu angin. Angin berdesir. Berembus. Semakin kencang, hingga pohon brderak. Rumput bergemerisik. Ia berdesau. Desaunya terdengar seperti suara tiupan seruling.

‘Kau baru saja melihat dan mendengar angin, Anakku.’

Aku terdiam. Begitu banyak hal sepele yang aku lupakan. Begitu banyak kejadian luar biasa, yang aku kecilkan.

Tanganmu meraih pipiku. Merangkumnya dalam satu genggaman. Matamu tetap dalam. Aku tahu, aku tenggelam di dalamnya.

‘Dan izinkan aku masuk ke dalam dirimu. Menjadi bagianmu. Jadilah kekasihku. Selamanya.’ Itu cara paling sederhana untuk saling mencintai.

‘Apakah itu kamu?’
Kamu tertawa mendengar pertanyaanku. Tawa yang gemerincing, bergaung seperti sebuah genta.

‘Kamu. Aku ada dalam kamu.’

Sesederhana itu.




Starbucks-PIM 2, October 17th, 2009

kepada Dia, ‘G’: Kamulah cinta itu.